Serangga, Inilah Makanan Masa Depan
Lebih dari 2 miliar orang di seluruh dunia secara teratur memakan serangga. Bagi banyak orang, serangga merupakan bagian umum dari makanan mereka dan bahkan dianggap sebagai makanan lezat di daerah tertentu.
Sebaliknya, gagasan memakan serangga di negara-negara Barat masih disambut dengan keraguan.
Namun, para ahli percaya bahwa praktik memakan serangga, yang dikenal sebagai entomophagy, bisa menjadi lebih umum di tempat-tempat seperti Amerika Serikat di masa depan.
Untuk memahami mengapa lebih banyak orang harus mempertimbangkan untuk menambahkan serangga ke dalam makanan mereka, UCR Magazine berbicara dengan Erin Wilson-Rankin, seorang profesor entomologi di University of California, Riverside.
Ia mengajar mata kuliah tentang sejarah serangga dan pentingnya serangga dalam berbagai budaya, termasuk mengapa banyak orang di seluruh dunia memakannya.
Mengapa Memakan Serangga Tidaklah Aneh
Wilson-Rankin menekankan bahwa memakan serangga sama sekali tidak aneh. "Ada 8 miliar orang di planet ini, dan lebih dari 2 miliar dari mereka memakan serangga secara teratur," katanya.
“Itu merupakan bagian penting dari populasi global.”
Dalam banyak budaya, terutama di wilayah dekat khatulistiwa, serangga merupakan sumber protein utama.
Kumbang merupakan serangga yang paling umum dikonsumsi di seluruh dunia, diikuti oleh kupu-kupu dan ngengat.
Orang cenderung memakan larva atau pupa serangga ini karena lunak dan kaya akan protein. Di Afrika sub-Sahara, ulat sangat populer, sedangkan di Amerika Latin, semut, tawon, dan lebah merupakan hewan yang umum.
Misalnya, di Kolombia, semut panggang dimakan, dan di Meksiko, larva semut sering dicampur ke dalam makanan seperti burrito.
Manfaat memakan serangga
Salah satu keuntungan terbesar memakan serangga adalah bahwa memeliharanya jauh lebih berkelanjutan daripada beternak hewan seperti ayam atau sapi.
“Serangga tidak berdampak pada lingkungan seperti halnya ternak tradisional,” jelas Wilson-Rankin.
“Dibutuhkan sumber daya yang jauh lebih sedikit untuk memelihara serangga, dan mereka menghasilkan lebih sedikit gas rumah kaca.”
Misalnya, jika Anda memberi makan 100 pon rumput pada sapi, Anda akan mendapatkan sekitar 3 pon daging sapi. Namun, dengan jumlah rumput yang sama, Anda dapat menghasilkan 35 pon ulat.
Serangga seperti belalang, jangkrik, dan belalang sembah memiliki kandungan protein yang sangat tinggi, dan juga mengandung nutrisi penting seperti antioksidan, senyawa antiradang, asam amino, dan serat.
Apakah ada risiko memakan serangga?
Meskipun beberapa orang khawatir memakan serangga dapat menimbulkan risiko kesehatan, seperti bakteri atau racun, Wilson-Rankin menjelaskan bahwa hal ini biasanya tidak menjadi masalah.
“Virus yang menyebabkan penyakit bawaan makanan biasanya tidak bereplikasi pada serangga,” katanya.
“Tentu saja, serangga dapat terkontaminasi selama pemrosesan atau distribusi, tetapi hal itu berlaku pada semua makanan.
Sama seperti Anda mencuci sayuran atau memasak daging, Anda dapat menyiapkan serangga dengan cara yang menghilangkan patogen potensial apa pun.”
Serangga juga umumnya tidak mengumpulkan racun, dengan beberapa pengecualian seperti ulat raja yang memakan milkweed beracun.
Selama Anda menghindari kasus-kasus langka tersebut, sebagian besar serangga yang dapat dimakan aman untuk dimakan.
Serangga sudah ada dalam makanan Anda
Anda mungkin tidak menyadarinya, tetapi jika Anda tinggal di AS, Anda sudah memakan serangga tanpa menyadarinya. "Diperkirakan rata-rata orang Amerika mengonsumsi sekitar 2 pon bagian serangga setiap tahun," kata Wilson-Rankin.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) menetapkan kadar yang dapat diterima untuk bagian serangga dalam makanan.
Misalnya, cokelat dapat mengandung hingga 60 fragmen serangga per 100 gram, dan bir dapat mengandung lebih dari 2.500 kutu daun per 10 gram hop.
"Serangga dalam makanan sebagian besar merupakan masalah estetika," kata Wilson-Rankin. "Serangga tidak menimbulkan risiko kesehatan."
Mengubah Persepsi tentang Makan Serangga
Jadi, mengapa lebih banyak orang di negara-negara Barat tidak memakan serangga? Wilson-Rankin percaya itu adalah masalah budaya.
"Ada stereotip dalam budaya kita bahwa memakan serangga itu menjijikkan," katanya.
Namun, ia menunjukkan bahwa beberapa makanan yang sekarang kita anggap sebagai makanan lezat, seperti lobster, dulunya dianggap tidak diinginkan.
“Lobster dulunya dianggap sebagai ‘kecoak laut,’ dan orang-orang dulu memprotes karena diberi terlalu banyak lobster. Namun kemudian lobster berganti merek, dan sekarang menjadi makanan mewah.”
Perubahan merek serupa dapat membantu serangga diterima di negara-negara Barat.
Bahkan, beberapa koki kelas atas sudah memasukkan serangga ke dalam hidangan mereka.
Koki selebritas Joseph Yoon dikenal dengan resep-resepnya yang berbahan dasar serangga, dan bahkan restoran berbintang Michelin pun mengikuti tren ini.
Pada akhirnya, Wilson-Rankin percaya bahwa manfaat lingkungan dan nutrisi dari memakan serangga akan membantu mendorong perubahan.
“Ini adalah cara yang berkelanjutan untuk memberi makan orang dan dapat memainkan peran penting dalam memastikan keamanan pangan global di masa depan,” katanya.
Dengan perubahan merek yang tepat, entomophagy dapat segera menjadi praktik yang umum dan diterima dalam pola makan Barat. (kpo)