AI Bantu Prediksi Nyeri Parah Setelah Operasi Penggantian Lutut

Sebuah studi baru yang menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk lebih memahami dan memprediksi nyeri pada pasien setelah operasi penggantian lutut telah menerima penghargaan tertinggi di Pertemuan Tahunan ke-50 American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine (ASRA).
Penelitian yang dipimpin oleh Pain Prevention Research Center di Hospital for Special Surgery (HSS) tersebut dianugerahi salah satu gelar "Best of Meeting", yang menjadikannya salah satu dari tiga presentasi ilmiah teratas di antara ratusan presentasi lainnya.
Setiap tahun, lebih dari satu juta orang di Amerika Serikat menjalani operasi penggantian lutut total.
Meskipun prosedur ini sering kali meningkatkan mobilitas dan kualitas hidup, banyak pasien mengalami nyeri parah setelah operasi.
Memahami pasien mana yang paling berisiko dapat membantu dokter mempersonalisasi perawatan dan meningkatkan pemulihan.
Dr. Alexandra Sideris, direktur Pain Prevention Research Center di HSS, menekankan pentingnya pekerjaan ini.
"Merupakan suatu kehormatan untuk diakui oleh organisasi yang sangat disegani," katanya.
"Penghargaan ini mencerminkan komitmen tim kami untuk memajukan perawatan pasien melalui inovasi."
Untuk melakukan penelitian, tim peneliti menggunakan pembelajaran mesin—sejenis AI yang dapat menganalisis sejumlah besar data dan mengenali pola.
Mereka mempelajari data dari 17.200 pasien yang menjalani operasi penggantian lutut di HSS antara April 2021 dan Oktober 2024.
Tujuannya adalah mengelompokkan pasien berdasarkan pengalaman nyeri mereka, mencari tahu apa yang memprediksi nyeri parah, dan mengidentifikasi pasien yang mungkin memerlukan manajemen nyeri ekstra setelah operasi.
Pertama, para peneliti menggunakan metode AI tanpa pengawasan untuk memilah pasien menjadi dua "arketipe" atau pola nyeri.
Satu kelompok mengalami nyeri parah dan sulit dikendalikan setelah operasi.
Kelompok lainnya mengalami nyeri yang relatif terkelola dengan baik.
Klasifikasi ini membantu dokter memahami bagaimana tingkat nyeri dapat berbeda secara signifikan di antara pasien.
Selanjutnya, tim menerapkan pembelajaran mesin yang diawasi untuk menentukan faktor mana yang memprediksi nyeri parah.
Mereka menemukan bahwa pasien yang lebih muda, mereka yang memiliki lebih banyak masalah kesehatan fisik atau mental, individu dengan indeks massa tubuh (IMT) yang lebih tinggi, dan mereka yang sudah menggunakan opioid atau obat nyeri saraf sebelum operasi lebih mungkin mengalami nyeri yang lebih parah setelahnya.
Dr. Justin Chew, peneliti klinis di HSS yang mempresentasikan temuan tersebut pada pertemuan ASRA, mengatakan bahwa penelitian tersebut menunjukkan bagaimana AI dapat digunakan untuk meningkatkan perawatan.
“Analisis kami membantu mengidentifikasi pasien mana yang paling berisiko sehingga dokter dapat merencanakan strategi manajemen nyeri yang disesuaikan,” jelasnya.
Dr. Sideris menambahkan bahwa penelitian di masa mendatang akan mencakup lebih dari sekadar hari-hari awal setelah operasi.
Penelitian yang sedang berlangsung akan memantau pasien dalam jangka waktu yang lebih lama untuk melacak bagaimana nyeri berubah seiring waktu dan menguji perawatan mana yang paling berhasil sebelum, selama, dan setelah operasi untuk membantu mereka yang berisiko lebih tinggi.
Dengan menggunakan AI untuk memprediksi dan mengelola nyeri pascaoperasi dengan lebih baik, tim di HSS berharap dapat membuat pemulihan lebih lancar dan lebih nyaman bagi semakin banyak pasien yang menjalani penggantian lutut.
Penelitian ini merupakan contoh kuat tentang bagaimana teknologi dan perawatan yang dipersonalisasi dapat dipadukan untuk meningkatkan hasil medis.