Susu A2 Tidak Selalu Jadi Solusi Untuk Perut Sensitif

Susu merupakan makanan pokok dalam banyak pola makan, tetapi bagi sebagian orang, susu lebih banyak menimbulkan ketidaknyamanan daripada nutrisi. Kembung, kram, dan masalah pencernaan lainnya seringkali membuat orang berhenti mengonsumsi susu sama sekali.
Susu A2, yang berasal dari sapi yang hanya menghasilkan protein beta-kasein tipe A2, telah dipasarkan di seluruh dunia sebagai alternatif yang lebih lembut daripada susu biasa.
Namun, penelitian baru dari Finlandia menunjukkan bahwa susu A2 mungkin bukan pilihan terbaik bagi semua orang yang sensitif terhadap susu.
Studi yang dilakukan oleh Unit Ilmu Pangan Universitas Turku dan dipublikasikan di Journal of Dairy Science ini membandingkan susu A2 dengan produk lain: susu bebas laktosa yang dihidrolisis protein.
Dalam jenis susu ini, laktosa tidak hanya dihilangkan, tetapi proteinnya juga dipecah sebagian, sebuah proses yang disebut hidrolisis, yang dapat mempermudah pencernaan.
Para peneliti merekrut 36 orang dewasa yang melaporkan masalah perut setelah minum susu.
Para peserta dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan genetika mereka yang toleran laktosa atau intoleran laktosa.
Penelitian ini dirancang sebagai uji coba silang acak, yang berarti setiap peserta mencoba semua jenis susu pada waktu yang berbeda, dengan periode bebas susu di antaranya.
Selama penelitian, para peserta minum susu A2, susu A2 dengan tambahan enzim laktase, atau susu protein terhidrolisis bebas laktosa.
Gejala pencernaan mereka dicatat, dan sampel darah serta feses diambil untuk mengukur tanda-tanda peradangan.
Hasilnya menunjukkan gambaran yang bernuansa. Di antara orang-orang yang toleran laktosa, baik susu A2 maupun susu protein terhidrolisis dapat ditoleransi dengan baik, tanpa perbedaan gejala yang signifikan.
Namun, bagi mereka yang intoleran laktosa, susu protein terhidrolisis bebas laktosa jelas merupakan pilihan terbaik.
Para peserta ini melaporkan lebih sedikit masalah pencernaan dibandingkan ketika mereka minum susu A2, yang masih mengandung laktosa.
"Dari susu yang diteliti dalam studi kami, susu A1A2 bebas laktosa dan terhidrolisis protein merupakan pilihan susu terbaik bagi mereka yang intoleran laktosa, dan setidaknya sama ramahnya dengan susu A2 bagi mereka yang dapat mentoleransi laktosa," jelas Profesor Kaisa Linderborg, peneliti utama studi tersebut.
Menariknya, beberapa partisipan mengalami ketidaknyamanan di usus selama setiap tahap studi—bahkan selama periode tanpa susu.
Hal ini menunjukkan bahwa susu tidak selalu menjadi satu-satunya penyebab masalah gastrointestinal.
Faktor pola makan atau lingkungan lain mungkin berperan dalam bagaimana orang merasakan dan mengalami gejala-gejala di usus.
Dalam hal peradangan, para peneliti tidak menemukan perubahan signifikan pada berbagai jenis susu.
Kadar penanda peradangan umum seperti protein C-reaktif dan kalprotektin feses tetap stabil, menunjukkan bahwa ketidaknyamanan yang dilaporkan oleh partisipan tidak terkait dengan peradangan yang meluas.
Ini adalah studi ketiga dari tim Turku tentang masalah usus yang berkaitan dengan susu, dan temuan ini sekali lagi menyoroti betapa kompleksnya masalah ini.
Meskipun intoleransi laktosa merupakan penyebab sensitivitas susu yang umum, tidak semua ketidaknyamanan dapat dijelaskan hanya oleh laktosa.
Jenis protein dan metode pengolahannya juga tampaknya berperan, dan perbedaan individu membuat gambarannya semakin rumit.
Bagi konsumen, pesannya adalah bahwa susu A2 bukanlah solusi universal. Meskipun mungkin lebih mudah dicerna bagi sebagian orang, mereka yang intoleransi laktosa lebih baik memilih produk bebas laktosa—terutama yang mengandung hidrolisis protein.
Seperti yang dicatat Profesor Linderborg, susu tetap menjadi bagian penting dari pola makan di banyak budaya, sehingga penting untuk terus mempelajari bagaimana berbagai jenis produk susu memengaruhi individu yang sensitif.
Harapannya adalah penelitian ini akan menghasilkan produk susu yang lebih sesuai dan memenuhi kebutuhan orang-orang dengan sistem pencernaan yang beragam.