Home > Sana Sini

Keberlanjutan Kepiting Bakau Sangat Penting Bagi Nelayan di Kepulauan Aru

Kepiting lumpur atau bakau, secara ilmiah dikenal sebagai Scylla serrata, menghuni lingkungan berlumpur di dalam ekosistem bakau.
Nelayan di Desa Lorang menunjukkan kepiting bakau hasil tangkapannya/Foto: Ridzki R. Sigit/Mongabay-Indonesia.
Nelayan di Desa Lorang menunjukkan kepiting bakau hasil tangkapannya/Foto: Ridzki R. Sigit/Mongabay-Indonesia.

Suatu sore di bulan November tahun lalu, Natanel Ginobal, 67 tahun, mengemudikan perahu motornya untuk memeriksa kepiting bakau yang tertangkap oleh perangkap yang dipasangnya sehari sebelumnya.

Ia harus bergerak cepat sebelum air pasang mulai surut dan membuatnya semakin sulit memanen hasil tangkapannya hari itu.

Natanel telah memasang 15 perangkap di sela-sela akar tanaman bakau (Rhizophora) di saluran masuk sungai yang sempit sehingga mengharuskannya beralih dari perahu motor dan menggunakan perahu yang lebih kecil untuk bermanuver melewati celah bakau.

Hal ini merupakan praktik umum yang dilakukan oleh banyak nelayan kepiting bakau, seperti Natanel, di Desa Lorang, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku.

Perangkap kepiting ditempatkan antara 30 dan 50 sentimeter (12 dan 20 inci) di bawah permukaan air, dirancang khusus untuk memikat makhluk tersebut dengan ikan kecil dan menutup rapat setelah ia mengambil umpan.

Setelah memeriksa satu per satu perangkap, Natanel menemukan tujuh diantaranya berisi kepiting.

“Tangkapan karaka [kepiting] bagus. Saya perkirakan harga totalnya lebih dari 1 juta rupiah [$63],” katanya kepada Mongabay-Indonesia dengan senyum lebar di wajahnya.

Namun, survei cepat yang dilakukan oleh para peneliti Indonesia di desa Lorang baru-baru ini menunjukkan tanda-tanda berkurangnya jumlah kepiting bakau, sehingga memicu kekhawatiran baru di kalangan nelayan lokal yang bergantung pada makhluk laut tersebut untuk mata pencaharian mereka.

Apa yang terjadi dengan kepiting?

Booming perikanan kepiting bakau di Kepulauan Aru dimulai pada tahun 2014 ketika pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium terhadap berbagai komoditas perikanan, termasuk udang dan ikan.

“Pada akhir tahun 1990-an, sebagian masyarakat di Lorang berburu kepiting di hutan bakau,” kata Natanel, yang juga merupakan salah satu generasi pertama penangkap kepiting di desa tersebut. “Tetapi mulai berkembang dari tahun 2015 hingga sekarang.”

Pemerintah Indonesia memperkirakan potensi sumber daya rajungan di wilayah pengelolaan perikanan yang meliputi Kepulauan Aru sebesar 1.498 ton dengan total tangkapan yang diperbolehkan sebesar 1.198 ton. Nelayan di Desa Lorang, misalnya, tidak perlu pergi jauh untuk menjual kepiting bakaunya, karena pembeli dari daerah lain di kabupaten tersebut sudah bisa datang ke sana.

Biasanya, kepiting dengan berat 300-700 gram (10-25 ons) dijual dengan harga 90.000 rupiah ($5,70), dan kepiting yang beratnya lebih dari itu, hingga 1 kilogram (2,2 pon), dihargai 180,000 rupiah ($11,40). Kepiting yang berukuran lebih dari 1 kg dapat dijual dengan harga hingga 300.000 rupiah ($19).

“Di Lorang, rata-rata setiap kepala keluarga memiliki 15-20 bubu,” kata Natanel, seraya menunjukkan bahwa kepiting merupakan sumber pendapatan penting bagi rumah tangga di desa tersebut.

Namun, kajian yang dilakukan pada bulan November oleh peneliti dari Sekolah Pemberdayaan Masyarakat (SPR) Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan bahwa kelimpahan kepiting bakau sudah semakin menipis.

Berdasarkan wawancara dengan nelayan kepiting bakau, peneliti menemukan bahwa kepiting berukuran besar semakin sulit ditemukan dibandingkan 3-5 tahun sebelumnya meskipun habitat mangrove dan sekitarnya tampak tidak rusak.

Penelitian pada tahun 2020 menunjukkan bahwa kepiting bakau oranye (Scylla olivacea) di Kepulauan Aru berukuran lebih besar dibandingkan yang ada di Thailand, Malaysia, India bahkan jika dibandingkan dengan yang ada di wilayah lain di india seperti wilayah Tapanuli, Semarang, dan Merauke.

Di Aru, ukurannya mencapai 110-185 milimeter (4,3-7,3 inci), dengan rata-rata 135 mm (5,3 inci).

Penjelasan yang paling masuk akal atas penurunan kelimpahan ini adalah kemungkinan bahwa di lapangan, terdapat tingkat penangkapan kepiting yang lebih cepat dibandingkan tingkat regenerasi alami, menurut Mustaghfirin, peneliti sosio-ekonomi dan pendiri SPR, yang melakukan penilaian cepat. potensi sosial ekonomi di Desa Lorang.

“Dulu cukup diberi potongan kelapa atau ikan asin saja [sebagai umpan]. Sekarang berbeda, belum tentu bisa menarik [kepiting] dengan menggunakan potongan ikan segar seperti ikan kerapu atau kakap,” kata Mustaghfirin.

Natanel, nelayan kepiting bakau Kepulauan Aru, bermanuver dengan perahu melintasi lebatnya hutan bakau di tepi sungai/Foto: Ridzki R. Sigit/Mongabay-Indonesia.
Natanel, nelayan kepiting bakau Kepulauan Aru, bermanuver dengan perahu melintasi lebatnya hutan bakau di tepi sungai/Foto: Ridzki R. Sigit/Mongabay-Indonesia.

Mangrove: Tempat berlindung bagi kepiting

Kepiting lumpur atau bakau, yang secara ilmiah dikenal sebagai Scylla serrata, menghuni lingkungan berlumpur di dalam ekosistem bakau.

Kepulauan Aru, dengan habitat bakau seluas 156.524 hektar (386.779 hektar), seperti yang dilaporkan pada tahun 2018 oleh lembaga swadaya masyarakat Forest Watch Indonesia (FWI), memberikan peluang besar bagi budidaya kepiting bakau di wilayah Maluku, yang kemudian mendorong perekonomian lokal.

Perikanan kepiting bakau memang mempunyai banyak potensi bagi pertumbuhan ekonomi lokal. Analisis tahun 2017 memperkirakan margin keuntungan bagi nelayan rajungan di Aru adalah 11,85-12,5 juta rupiah ($750-790).

“Pembeli dari Dobo [ibu kota Kepulauan Aru] mengumpulkan rajungan dari nelayan lalu mengirimkannya ke kota lain. Bahkan ada yang terus diekspor,” kata A.L.O. Tabela, Kepala Dinas Perikanan Kepulauan Aru.

Oleh karena itu, hutan bakau menjadi kunci keberlanjutan bagi kelangsungan hidup warga lokal di Kepulauan Aru yang tersebar di 800 pulau kecil. Desa Lorang terletak di Pulau Maekor yang hanya dapat dicapai melalui jalur laut dan tidak terhubung dengan daratan manapun. Untuk menuju desa ini, perahu harus melewati selat sempit yang banyak ditumbuhi pohon bakau di kedua sisinya.

Menurut peta tata ruang tanah adat FWI, desa Lorang dengan populasi 233 jiwa mencakup wilayah seluas 40.000 hektar (98.800 hektar) dan sebagian besar ekosistem lautnya ditutupi oleh hutan bakau alami, sehingga ideal untuk habitat kepiting.

Tingginya nilai ekonomi kepiting bakau telah menumbuhkan kesadaran dan desakan masyarakat desa Lorang untuk melestarikan hutan bakau yang tersisa. Oleh karena itu, mereka menciptakan adat setempat di Lorang yang melarang pencari kepiting mengambil kepiting betina yang membawa telur dan mengambil kepiting yang berukuran lebih kecil dari 300 gram. Jika menangkap kepiting tersebut, nelayan wajib segera melepaskannya kembali ke alam.

“Karaka hidup di antara akar bakau, [jadi] kita [harus] melindungi hutan,” kata Zakarias Gaetedi, 75, kepala adat di Lorang.

Regenerasi kepiting bakau juga harus terus dijaga, terutama yang berkaitan dengan alat tangkapnya. Perangkap tradisional diyakini dapat membantu menjaga tingkat populasi kepiting jika ukuran jaring perangkap cukup besar sehingga remaja kepiting dapat melarikan diri dari perangkap.

“Sebenarnya nelayan akan mendapat keuntungan lebih dan harga beli lebih tinggi jika mendapatkan kepiting yang beratnya lebih dari 1 kg,” kata Mustaghfirin.

Ia menyarankan pembentukan kawasan suaka margasatwa yang dapat menopang populasi kepiting liar. Ia mencatat kesepakatan bersama dengan desa-desa tetangga juga penting bagi nelayan di Lorang dalam upaya melestarikan populasi kepiting.

“Dari sudut pandang sosiologi budaya, ini adalah sebuah tantangan. Perlu ada kesepakatan untuk mencari dan membangun lokasi suaka kepiting, yang ke depan bisa disepakati menjadi ‘bank kepiting’ agar populasinya terjamin di alam,” kata Mustaghfirin.

>> Penangkapan kepiting bakau di desa Lorang, Kepulauan Aru, telah menjadi mata pencaharian penting sejak tahun 2014, namun survei baru-baru ini menunjukkan tanda-tanda penurunan jumlah tersebut, sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan nelayan setempat.

>> Boomingnya perikanan rajungan dimulai setelah pemerintah melakukan moratorium terhadap berbagai komoditas.

>> Meskipun memiliki nilai ekonomi yang tinggi, kajian cepat yang dilakukan oleh para peneliti Indonesia menunjukkan adanya penurunan kelimpahan kepiting bakau, kemungkinan disebabkan oleh penangkapan ikan yang berlebihan dan melebihi regenerasi alami.

>> Untuk mengatasi hal ini, ada seruan untuk melakukan upaya konservasi, termasuk cagar alam dan perjanjian dengan desa-desa tetangga untuk membentuk “bank kepiting” untuk populasi kepiting yang berkelanjutan.

× Image