Senyawa Baru Terinspirasi dari Ganja Menawarkan Pereda Nyeri Tanpa Kecanduan

Ilmuwan dari Universitas Washington di St. Louis dan Universitas Stanford telah menciptakan senyawa baru yang dapat membantu penderita nyeri kronis. Perawatan baru ini didasarkan pada molekul yang ditemukan dalam tanaman ganja, tetapi tidak menyebabkan efek "high" atau kecanduan seperti opioid atau mariyuana.
Suatu hari nanti, senyawa ini mungkin menawarkan alternatif yang lebih aman bagi 50 juta orang Amerika yang menderita nyeri jangka panjang.
Studi yang dipublikasikan di jurnal Nature menunjukkan bahwa senyawa baru ini meredakan nyeri pada tikus tanpa memengaruhi otak atau menyebabkan toleransi.
Artinya, senyawa ini dapat bekerja dalam jangka panjang tanpa memerlukan dosis yang lebih tinggi, tidak seperti banyak obat pereda nyeri yang ada saat ini.
Dr. Susruta Majumdar, yang memimpin penelitian ini, menjelaskan bahwa senyawa ini dirancang dengan cermat untuk menghindari otak.
Senyawa ini hanya menempel pada reseptor pereda nyeri di dalam tubuh.
Karena tidak mencapai otak, senyawa ini menghindari efek samping yang dapat mengubah suasana hati atau menciptakan perasaan senang yang menyebabkan kecanduan.
Desain ini penting karena opioid yang ada saat ini, meskipun efektif, dapat berbahaya.
Obat-obatan ini bekerja dengan menargetkan sistem penghargaan otak dan telah menyebabkan tingginya tingkat kecanduan dan kematian akibat overdosis—lebih dari 82.000 di AS pada tahun 2022 saja.
Kannabis, atau mariyuana, telah digunakan selama berabad-abad untuk mengobati rasa sakit.
Namun, efeknya yang mengubah pikiran membuatnya sulit digunakan sebagai obat biasa.
Senyawa dalam kanabis bekerja dengan mengaktifkan reseptor yang disebut CB1, yang ditemukan di otak dan di sel saraf yang mendeteksi rasa sakit.
Para peneliti ingin mempertahankan efek pereda nyeri tetapi menghilangkan "rasa senang".
Untuk melakukan ini, mereka memberi senyawa baru mereka muatan positif, yang mencegahnya memasuki otak.
Senyawa ini masih mencapai reseptor CB1 di saraf sensorik nyeri di seluruh tubuh.
Para ilmuwan mengujinya pada tikus dengan cedera saraf dan gejala seperti migrain.
Mereka menggunakan sensitivitas sentuhan sebagai cara untuk mengukur rasa sakit, dan hasilnya menunjukkan bahwa senyawa baru ini efektif mengurangi rasa sakit tanpa menimbulkan efek samping.
Yang lebih menjanjikan lagi, senyawa ini bekerja seiring waktu tanpa kehilangan efeknya.
Banyak obat, seperti opioid, kehilangan efeknya seiring tubuh terbiasa. Orang kemudian membutuhkan dosis yang lebih tinggi untuk merasakan efek yang sama.
Dalam studi ini, tikus yang diberi obat dua kali sehari selama sembilan hari tidak mengembangkan toleransi. Senyawa tersebut tetap bekerja tanpa memerlukan dosis yang lebih kuat.
Efek jangka panjang ini sebagian disebabkan oleh desain yang cerdas. Para ilmuwan di Stanford menggunakan model komputer untuk menemukan "kantong" tersembunyi pada reseptor CB1.
Biasanya, kantong ini sulit dijangkau, tetapi senyawa baru tersebut berhasil masuk ke dalamnya ketika kantong tersebut terbuka sebentar.
Pengikatan pada titik ini mengurangi risiko timbulnya toleransi, yang merupakan langkah maju yang besar.
Dr. Majumdar mengatakan sangat sulit untuk merancang obat penghilang rasa sakit yang bekerja dengan baik tanpa efek samping yang berbahaya, tetapi penelitian ini memberikan harapan.
Tim sekarang berencana untuk mengubah senyawa tersebut menjadi pil yang dapat dikonsumsi.
Jika berhasil, senyawa ini dapat diuji dalam uji klinis pada manusia dan mungkin menjadi pilihan yang lebih aman untuk mengobati nyeri kronis di masa mendatang.
Studi ini dipublikasikan di Nature.