Kurangnya Paparan Sinar Matahari Bikin Tingkat Bunuh Diri Lebih Tinggi, Nah Lho...

Seiring hari-hari yang semakin pendek di musim gugur dan musim dingin, banyak orang mengalami suasana hati yang buruk atau seasonal affective disorder (SAD), sejenis depresi yang terkait dengan berkurangnya waktu siang hari.
Namun, penelitian baru menunjukkan bahwa jumlah sinar matahari yang sebenarnya —bukan hanya jam siang hari— memainkan peran yang jauh lebih besar dalam kesehatan mental daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Sebuah studi oleh Dr. Shinsuke Tanaka dari University of Connecticut’s College of Agriculture, Health and Natural Resources, menemukan bahwa berkurangnya paparan sinar matahari sangat terkait dengan tingkat bunuh diri yang lebih tinggi di Amerika Serikat.
Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Health Economics ini menantang temuan sebelumnya yang menunjukkan bahwa bunuh diri mencapai puncaknya ketika jam siang hari terpanjang.
Studi sebelumnya melaporkan bahwa tingkat bunuh diri sering meningkat di musim semi, ketika hari-hari lebih panjang, membuat banyak orang percaya bahwa lebih banyak sinar matahari dapat meningkatkan risiko bunuh diri. Namun, Dr. Tanaka menduga bahwa pola ini menyesatkan.
“Literatur telah menunjukkan hubungan positif antara sinar matahari dan bunuh diri, dan saya pikir itu tidak masuk akal,” katanya.
"Pasti ada hubungannya dengan musim."
Alih-alih hanya melacak berapa jam siang hari antara matahari terbit dan terbenam, Tanaka mengambil pendekatan yang lebih presisi.
Ia menggunakan data satelit NASA selama 25 tahun untuk mengukur jumlah radiasi matahari—intensitas sinar matahari yang benar-benar mencapai permukaan Bumi—di seluruh wilayah AS.
Metode ini memperhitungkan kondisi berawan, hujan, atau berkabut yang dapat sangat mengurangi jumlah sinar matahari yang diterima orang, bahkan ketika hari panjang.
Dengan menggunakan data ini, Tanaka menemukan pola yang jelas: semakin banyak sinar matahari yang diterima orang, semakin rendah tingkat bunuh diri.
Bahkan, ketika paparan sinar matahari turun satu standar deviasi, tingkat bunuh diri meningkat sekitar 6,8%.
Dampak tersebut serupa besarnya dengan faktor risiko utama lainnya seperti pengangguran, akses ke senjata api, atau keberadaan program pencegahan bunuh diri.
"Ini adalah bukti empiris pertama yang menunjukkan hubungan negatif antara sinar matahari dan bunuh diri," kata Tanaka. "Ini menyoroti manfaat kesehatan mental dari paparan sinar matahari."
Untuk mendukung temuan ini, Tanaka juga memeriksa data pencarian Google.
Ia menemukan bahwa pencarian daring untuk istilah seperti "depresi" dan "bunuh diri" meningkat ketika tingkat paparan sinar matahari menurun—yang selanjutnya menunjukkan bahwa rendahnya paparan sinar matahari memengaruhi kesejahteraan mental seseorang.
Studi ini memiliki implikasi yang lebih luas, melampaui kesehatan pribadi.
Tanaka memperingatkan bahwa teknologi iklim masa depan, seperti rekayasa geo surya—yang akan mengurangi sinar matahari yang mencapai Bumi untuk memerangi pemanasan global—mungkin memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan bagi kesehatan mental.
"Dengan mengurangi sinar matahari, kami menunjukkan adanya masalah kesehatan mental ini," ujarnya.
"Temuan kami menyoroti potensi biaya penerapan rekayasa geo surya."
Karena gaya hidup modern membuat orang-orang menghabiskan sebagian besar hari di dalam ruangan, penelitian Tanaka berfungsi sebagai pengingat akan resep sederhana dari alam untuk kesehatan mental: keluarlah dan seraplah sinar matahari kapan pun Anda bisa.
