Inilah 3 Alasan Mengapa 'Valentine's Day Blues' Itu Nyata, dari Kacamata Seorang Psikolog
“Valentine’s Day Blues” mengacu pada serangkaian emosi negatif termasuk kesedihan, kesepian, atau kecemasan yang dialami sebagian orang sehubungan dengan Hari Valentine, hari libur yang secara tradisional didedikasikan untuk merayakan cinta dan hubungan romantis.
Sebuah studi tahun 2022 menemukan bahwa “blues” ini adalah fenomena psikologis nyata dan bentuk depresi situasional yang terjadi pada minggu-minggu setelah tanggal 14 Februari. Perasaan tersebut juga bisa terpicu menjelang hari raya.
Berikut tiga alasan mengapa Hari Valentine merupakan peristiwa yang sulit bagi banyak orang, menurut penelitian.
1. Komodifikasi Cinta
Hari Valentine sangat mengakar dalam ekspektasi budaya dan media populer. Norma-norma sosial menyatakan bahwa individu harus mengekspresikan cinta mereka melalui sikap yang agung dan menunjukkan kasih sayang yang berlebihan. Tekanan budaya ini dapat memperparah perasaan tidak mampu pada mereka yang tidak mampu memenuhi harapan-harapan ini atau mendapati diri mereka tanpa pasangan romantis atau tanda kasih sayang.
Menurut survei pada tahun 2024, orang Amerika diperkirakan akan menghabiskan sekitar $14,2 miliar untuk orang terdekat mereka pada Hari Valentine ini, yang menyoroti besarnya kewajiban untuk berpartisipasi dalam liburan tersebut.
Peneliti juga menemukan bahwa partisipan yang menerima hadiah valentine melaporkan tingkat tekanan psikologis yang lebih rendah. Namun, orang-orang yang tidak menghadiri perayaan Hari Valentine mungkin akan menghadapi pengucilan sosial, stres, dan kekecewaan.
Para peneliti berpendapat bahwa karena narasi pemasaran saat ini mendorong ilusi fantasi fantasi, individu sering kali kecewa dengan kekurangan dari realitas mereka sendiri.
“Usia 30 hingga 40 tahun kemungkinan besar merasakan tekanan sosial untuk mengembangkan hubungan yang sesuai dengan ekspektasi spesifik terkait monogami dan komitmen jangka panjang.
Perayaan Hari Valentine memberikan bukti komitmen tersebut. Bunga, mawar, dan makan malam dengan penerangan lilin semuanya mengirimkan pesan bahwa hubungan tersebut—dan kehidupan individu pada saat ini—berada di jalur yang benar.
Sebaliknya, tidak menerima hadiah Hari Valentine menunjukkan kegagalan dan, terutama bagi perempuan, kehabisan waktu untuk melakukannya dengan benar,” jelas para peneliti, berdasarkan temuan mereka bahwa kelompok usia ini menghadapi risiko kesehatan mental yang lebih besar dibandingkan kelompok usia lain di sekitar Hari Valentine.
2. Perangkap Perbandingan Sosial
Penelitian menunjukkan bahwa membandingkan diri sendiri dengan orang lain di media sosial dikaitkan dengan kecemasan sosial.
Banyak orang sering kali dibanjiri dengan gambar dan cerita tentang hubungan romantis yang tampak sempurna di dunia maya, terutama menjelang hari Valentine.
Tekanan untuk menunjukkan cinta yang dikurasi ini dapat menimbulkan rasa iri dan pikiran untuk “sendirian selamanya”, terutama bagi mereka yang saat ini masih lajang atau sedang mengalami tantangan dalam hubungan.
Representasi romantisme yang diidealkan di media sosial atau dalam kehidupan nyata dapat menyebabkan rendahnya harga diri dan persepsi diri yang negatif dan pesimistis, dengan individu mengukur nilai mereka berdasarkan status romantis mereka atau persepsi keberhasilan hubungan mereka.
Memahami bahwa perbandingan sosial tidak secara akurat mencerminkan kompleksitas hubungan nyata sangatlah penting untuk melepaskan diri dari jebakan ini.
3. Meningkatnya Tingkat Kesepian
Menurut sebuah penelitian tahun 2023, kesepian bisa membunuh. Ketidakhadiran orang terdekat selama liburan yang berfokus pada cinta dan hubungan dapat memperparah perasaan kesepian.
Isolasi sosial dan kurangnya dukungan sosial berdampak signifikan pada kesehatan mental dan kesejahteraan.
Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa para lajang mungkin mengalami tingkat kesepian yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang menjalin hubungan.
Individu juga mungkin merasa kesepian dalam hubungan romantis mereka atau setelah putus cinta baru-baru ini, dan Hari Valentine adalah pengingatnya.
Berikut adalah beberapa cara untuk mengatasi gejolak emosional akibat kesedihan Hari Valentine.
>> Latihlah rasa kasihan pada diri sendiri. Memperlakukan diri sendiri dengan kebaikan dan pengertian selama masa-masa sulit akan meningkatkan kesejahteraan mental. Rangkullah self-talk yang penuh kasih sayang, gantikan pemikiran yang tidak realistis atau terlalu negatif tentang kehidupan cinta Anda dengan perspektif yang lebih seimbang dan konstruktif. Prioritaskan praktik perawatan diri yang mendatangkan kegembiraan dan relaksasi. Praktik mindfulness, misalnya, dapat membantu mengelola stres dan kecemasan. Luangkan waktu untuk merenungkan dan menghargai aspek positif kehidupan, hubungan, dan pencapaian pribadi Anda.
>> Perkuat hubungan sosial. Dukungan sosial yang kuat dikaitkan dengan kesehatan mental yang lebih baik. Merencanakan kegiatan sosial yang berfokus pada minat bersama dan interaksi positif dapat memperkuat rasa memiliki. Misalnya merencanakan “perayaan Galentine” menekankan kembali hubungan sosial yang penting dalam kehidupan seseorang dan mengubah hari Valentine menjadi hari merayakan cinta kekeluargaan dan platonis. Penelitian menunjukkan bahwa individu lajang juga mahir menjaga hubungan sosial.
>> Lakukan tindakan kebaikan. Terlibat dalam tindakan kebaikan dan altruisme dikaitkan dengan peningkatan kesejahteraan. Pertimbangkan untuk menjadi sukarelawan atau melakukan tindakan kebaikan secara acak untuk mengalihkan fokus dari masalah pribadi ke memberikan kontribusi positif terhadap kehidupan orang lain.
>> Rencanakan ke depan. Jika Hari Valentine cenderung memicu emosi negatif, rencanakan aktivitas atau gangguan terlebih dahulu. Baik itu menonton film malam bersama teman, petualangan solo, atau proyek kreatif, memiliki rencana dapat membantu meringankan antisipasi perasaan negatif.
>> Carilah dukungan profesional. Jika kesedihan di Hari Valentine menjadi sangat berat atau terus-menerus, mencari dukungan dari ahli kesehatan mental dapat bermanfaat.
Valentine's Day Blues, meski umum terjadi, bukannya tidak bisa diatasi. Dengan mengenali dan memahami faktor psikologis yang berperan, individu dapat mengambil langkah proaktif untuk menjalani liburan yang penuh emosi ini.