Ilmuwan Temukan Tanda Baru Gegar Otak
Peneliti baru-baru ini menemukan tanda baru gegar otak yang dapat membantu mendeteksi hingga sepertiga kasus yang sebelumnya tidak terdiagnosis.
Penemuan ini berfokus pada gerakan menggelengkan kepala cepat yang sering kali terjadi setelah kepala terbentur.
Meskipun gerakan ini telah ditampilkan dalam film dan kartun selama bertahun-tahun, gerakan ini belum mendapat perhatian serius dari para profesional medis atau olahraga.
Tidak ada daftar resmi gejala gegar otak yang menyertakan tindakan ini hingga saat ini.
Penulis utama studi ini, Chris Nowinski, Ph.D., salah satu pendiri dan CEO Concussion Legacy Foundation, mendorong agar gerakan ini diakui sebagai tanda gegar otak yang jelas.
Bersama dengan rekan penulis Dan Daneshvar, MD, Ph.D., dari Harvard Medical School dan Spaulding Rehabilitation, mereka menamakannya "Spontaneous Headshake After a Kinematic Event" (SHAAKE).
Penelitian mereka, yang dipublikasikan dalam jurnal Diagnostics, mengungkap bahwa atlet yang menunjukkan perilaku SHAAKE melaporkan mengalami gegar otak sebanyak 72%.
Di antara pemain sepak bola, persentase ini bahkan lebih tinggi, yakni 92%.
Jadi, apa sebenarnya SHAAKE itu? SHAAKE adalah gerakan kepala yang tiba-tiba dari satu sisi ke sisi lain, biasanya terjadi tepat setelah terhantam.
Gerakan ini biasanya melibatkan dua hingga delapan gerakan per detik dan berlangsung kurang dari dua detik.
Gerakan ini tidak terkait dengan tujuan lain, seperti berkomunikasi atau bereaksi terhadap ketidaknyamanan kecil.
Para peneliti percaya bahwa ketika atlet menunjukkan gerakan ini setelah terhantam, itu adalah petunjuk yang dapat diandalkan bahwa gegar otak mungkin telah terjadi.
Pentingnya penemuan ini menjadi jelas setelah insiden kontroversial yang melibatkan quarterback Miami Dolphins Tua Tagovailoa.
Pada 25 September 2022, selama pertandingan, kepala Tagovailoa membentur tanah, dan ia terlihat menggelengkan kepalanya dengan cepat sebelum kehilangan keseimbangan dan pingsan.
Staf medis tidak mendiagnosisnya dengan gegar otak pada saat itu, mengaitkan gejalanya dengan cedera punggung sebelumnya.
Namun, jika gerakan SHAAKE telah dikenali sebagai tanda gegar otak, hal itu mungkin telah menimbulkan tanda bahaya.
Empat hari kemudian, Tagovailoa kembali ke lapangan dan mengalami cedera kepala lain yang lebih serius yang membuatnya tidak sadarkan diri.
Jika SHAAKE telah dikenali lebih awal, hal itu dapat mengarah pada pendekatan yang lebih hati-hati dan mungkin mencegah gegar otak keduanya.
Chris Nowinski menekankan bahwa SHAAKE perlu dimasukkan dalam daftar tanda gegar otak yang digunakan oleh organisasi olahraga dan staf medis.
Pelatih, petugas medis, dan ofisial harus dilatih untuk mengawasinya dan mengeluarkan atlet dari pertandingan untuk evaluasi lebih lanjut.
Untuk memahami seberapa umum SHAAKE dan hubungannya dengan gegar otak, para peneliti mensurvei 347 atlet berusia antara 18 dan 29 tahun.
Para atlet ini menonton klip video SHAAKE dan kemudian melaporkan pengalaman mereka sendiri.
Hasilnya menunjukkan bahwa 69% atlet pernah mengalami SHAAKE di beberapa titik, dan dari jumlah tersebut, 93% mengaitkannya dengan setidaknya satu gegar otak.
Atlet biasanya melaporkan mengalami SHAAKE sekitar lima kali dalam hidup mereka.
Dr. Daneshvar, penulis senior, menjelaskan bahwa SHAAKE adalah sinyal yang jelas mirip dengan tanda-tanda lainnya, seperti atlet yang memegang kepala setelah terkena pukulan, bangkit perlahan, atau kehilangan keseimbangan.
Ia menekankan bahwa jika seorang atlet menunjukkan SHAAKE, mereka harus dikeluarkan dari permainan untuk diperiksa kemungkinan gegar otak.
Ketika para atlet ditanya mengapa mereka mengira mereka menggelengkan kepala, banyak yang menyebutkan merasa bingung, perlu "memulai kembali" pikiran mereka, atau merasakan perubahan dalam kesadaran mereka terhadap ruang.
Gejala lain yang dilaporkan terkait dengan SHAAKE termasuk pusing, sakit kepala, kesulitan berpikir, dan perubahan penglihatan atau pendengaran.
Beberapa atlet melaporkan menggelengkan kepala karena alasan non-gegar otak seperti nyeri leher, kedinginan, atau reaksi emosional terhadap kejadian tersebut.
Para peneliti yakin temuan ini bisa menjadi langkah maju yang besar dalam meningkatkan diagnosis gegar otak.
Dr. Robert Cantu, direktur medis CLF dan salah satu penulis studi tersebut, menyoroti bahwa banyak gegar otak tidak dilaporkan karena atlet tidak mengenali gejalanya atau takut ditarik keluar dari pertandingan.
Ia mengatakan sangat penting untuk menangani setiap kemungkinan tanda gegar otak dengan serius untuk melindungi kesehatan atlet.
Namun, studi ini memiliki keterbatasan. Salah satu tantangannya adalah bahwa data tersebut didasarkan pada atlet yang mengingat kembali pengalaman masa lalu mereka, yang dapat dipengaruhi oleh bias memori.
Selain itu, sebagian besar peserta berasal dari Amerika Serikat dan Kanada, sehingga masih ada pertanyaan terbuka tentang bagaimana SHAAKE dapat berbeda di wilayah atau budaya lain.
Para peneliti menyarankan bahwa diperlukan lebih banyak studi di masa mendatang untuk mengonfirmasi temuan mereka.
Dengan temuan ini, para peneliti berharap SHAAKE dapat menjadi alat yang diakui dalam mengidentifikasi gegar otak dengan lebih akurat dan mengurangi risiko bagi atlet.
Studi ini dipublikasikan di Diagnostics. (kpo)